Selasa, Agustus 07, 2007

Peradilan Modern

Wawancara

Jimly Asshiddiqie: Mulailah Peradilan Modern dengan Enlightened Judges[23/7/07]
Banyak jalan menuju roma, banyak pula cara merombak lembaga peradilan. Salah satunya yang ditempuh Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Bersama koleganya di MK, Jimly merombak sistem peradilan gaya lama dengan menguatkan manajemen administrasi berbasis teknologi informasi.

Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) berdiri pada 2003, Ketua MK Prof Jimly Asshidiqie memang gemar membidik nasib pengelolaan administrasi yang acap diabaikan di dunia peradilan di Indonesia. Untuk keperluan itu, ia butuh kerja ekstra keras. Sebab ketika MK berdiri, manajemen administrasi peradilan di Indonesia yang tertata rapi, cepat, efektif dan efisien masih jauh panggang dari api. MK ingin menjadi pengadilan pionir yang memiliki pengelolaan administrasi perkara yang didukung sistem teknologi informasi mutakhir.

Begitulah dinamikai yang terjadi di MK. Sebagai lembaga negara yang usianya masih balita, MK tergolong lembaga peradilan yang sukses dalam melakukan capacity building. Dibandingkan dengan Mahkamah Agung (MA) yang sudah banyak makan garam dalam beberapa dekade, lembaga penguji Undang-undang itu memiliki pola kerja yang jauh lebih efektif tinimbang MA.

Sejumlah kalangan menilai manajemen perkara di lembaga peradilan di bawah atap MA masih konvensional dan kian tertinggal jaman. Ini disinyalir karena manajemen administrasi di lembaga pucuk peradilan di Indonesia itu masih menomorsekiankan pengelolaan administrasi. Ketua Bagir Manan pun pernah mengakui ketidakberesan pengelolaan administrasi di lembaganya. MA mengaku kini tengah berbenah sistem administrasinya. Kira-kira tak jauh berbeda dengan pola-pola yang sudah dikerjakan MK.

Untuk menelisik lebih jauh tentang perombakan pengadilan di tubuh MK, hukumonline mewawancarai Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie. Guru besar Tata Negara Universitas Indonesia itu diakui cukup piawai dalam membikin wajah baru dunia peradilan di Indonesia. Salah satunya dengan membidik administrasi perkara berbasis teknologi informasi yang ia sebut dengan 'Sistem Peradilan Modern'.

Jimly mengatakan, ada empat unsur utama untuk mengganti rupa pengadilan dari semula konvensional menjadi modern. Salah satu unsur yang cukup unik adalah apa yang ia sebut dengan enlightened judges. Berikut petikan wawancara hukumonline dengan Jimly di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Apa saja unsur-unsur sebuah peradilan modern?
Unsur-unsur peradilan modern itu, pertama adalah enlightened judges, hakim-hakim yang tercerahkan. Unsur kedua, adalah pengelolaan administrasi yang modern. Ketiga, Pengembangan sumberdaya manusia atau staf-staf. Dan unsur keempat, sistem informasi hukum.

Bisa diuraikan apa maksud hakim-hakim yang tercerahkan itu?
Hakimnya mengalami pencerahan. Pencerahan itu bukan hanya dalam arti integritas dan intelektualnya, tapi juga syarat-syarat hakim yang baik termasuk. Proses pencerahan itu tidak perlu menunggu semua orang baik. Cukup mulai dari yang sedikit. Pokoknya ada pencerahan. Yang terpenting dia punya keinginan untuk merombak lembaga peradilan. Hakim-hakim terserahkan ini harus ada di setiap pengadilan. Itu tak perlu banyak hakim, satu orang juga cukup.

Satu hakim yang tercerahkan sudah cukup?
Cukup satu. Artinya mulai dari satu, bukan cukup satu. Sebab tidak mungkin bekerja sendirian untuk merombak sebuah peradilan.

Apa hakim yang tercerahkan itu harus pemangku pucuk pimpinan pengadilan?
Tidak perlu seorang pucuk pimpinan. Tapi orang itu harus punya kemampuan leadership yang bisa menggerakkan orang-orang di pengadilan itu bahkan pimpinannya. Kalau orang yang punya kekuasaan akan jauh lebih mudah.

Nanti apa tidak justru konsistensi bakal pudar ketika si hakim tercerahkan itu kemudian berhenti lalu diganti?
Makanya saya bilang, bisa siapa saja, yang penting punya kemampuan leadership. Leadership kan tidak ada hubungannya dengan kedudukan. Terpentin gadalah orang itu punya kemampuan mempengaruhi orang, menggerakkan orang.

Intinya harus ada seorang yang revolusioner?
Ya. Jadi si orang yang enlightened itu harus fungsional untuk mengubah lingkungannya.

Untuk pengelolaan administrasi yang modern?
Ini sebenarnya pendukung utama sebuah peradilan modern. Saya anggap ini paling penting. Ini harus menjadi instrumen terobosan. Orang, terutama di lingkungan pengadilan, jarang menganggap administrasi itu penting. Menurut saya, administrasi itu adalah instrumen yang paling penting yang bisa membantu proses tercapai atau tidaknya tujuan berorganisasi. Dia adalah supporting system. Jadi kalau mau menembak suatu perusahaan dalam sebuah institusi, administrasinya yang you garap. Kita integrasikan perkembangan teknologi yang bisa membuat semua proses administrasi bisa berjalan rapi, efektif dan lebih efisien. Nggak bisa kita mengubah orang dengan kotbah.

Jadi dipaksakan sistem teknologi terbaru agar mau tak mau orang lalu menggunakannya?
Iya begitu. Sistem teknologinya dibangun dulu, lalu orang dipaksa belajar untuk menyesuaikan, agar bisa bekerja. Contoh gampangnya, orang-orang yang sudah tua itu kan malas hanya untuk belajar pakai SMS (Short Messages Service-red) atau e-mail. Padahal belajar begitu itu kan tidak ada susahnya. Mereka harus diajari. Harus diusahakan agar bisa memakai, sebab itu adalah teknologi yang memudahkan suatu pesan sampai dalam waktu singkat. Mempersingkat ruang dan waktu. kenapa tidak digunakan?

Dalam konteks MK, apa yang harus diprioritaskan dalam pengelolaan administrasi?
Yang pertama adalah administrasi keuangan. Kalau sudah beres dan tertata rapi baru administrasi perkara, administrasi personil, administrasi komunikasi dan lain-lain. Administrasi perkara ini di antaranya database peraturan Perundang-undangan, putusan, semacam-macam itu. Semua harus mudah diakses internal lembaga peradilan itu, baik hakim-hakimnya, staf-staf, dan eksternal yaitu publik.

Untuk pengembangan sumber daya manusia bagaimana?
Itu yang ketiga. Kita harus sering mengikuti perkembangan. Karena dunia ini kan bergerak. Kita tidak boleh puas dengan apa yang sudah kita kerjakan sekarang. Harus sering diadakan training-training, re-educate. Perubahan itu jika perlu diimbangi dengan reorientasi. Yang terakhir sistem informasi hukum. Ya sebenarnya sudah masuk dalam administrasi. Tapi ini lebih kepada peningkatan profesionalisme penyediaan informasi hukum. Arahnya kepada penyediaan informasi hukum yang bisa diakses siapa saja. Salah satunya dengan memantapkan teknologi informasi.

Dalam menyiapkan capacity building MK, apakah dibantu oleh jasa konsultan?
Tidak ada itu pakai konsultan-konsultan. Kami lebih suka belajar mengidentifikasi kekurangan-kekurangan sendiri mengikuti perkembangan waktu. Perencanaan akan lebih komprehensif jika kita sendiri yang membuat. Tentu dengan dicicil. Kalaupun ada donor yang mau masuk menawarkan diri sebagai konsultan, saya bilang, lebih baik kasih pendidikan buat para staf untuk pengembangan diri.

Persoalan di Indonesia ini kan hingga saat ini masih berkutat soal integritas dan kemampuan hakim. Lalu untuk hakimnya sendiri bagaimana merombaknya?
Kalau semua sudah terbangun, seperti database yagn sudah mantap, administrasi mantap, sistem informasi yang accessable, maka hakim harus mengubah iklim kerjanya. Saya melihat rata-rata hakim agung di sini sudah enggan atau malas untuk meningkatkan pengetahuan. Rata-rata sudah merasa cukup karena hakim agung adalah jabatan yang paling puncak. Sehingga seolah-olah mereka sudah mengerti hukum, mengerti semuanya. Padahal namanya hukum itu selalu mengalami perkembangan, harus selalu diikuti. Jarang sekali ada hakim agung yang mau sekolah lagi.

Beberapa hakim agung kan sekolah lagi untuk memberi contoh pada hakim-hakim di tingkat bawah agar mau belajar lagi?
Memang ada satu dua. Tetapi rata-rata sudah merasa cukup dengan pengetahuan yang mereka miliki.

Seharusnya untuk seorang hakim agung mesti bagaimana?
Tugas hakim itu kan sebenarnya simpel, hanya ada empat kerjaan. Membaca, berdebat, menulis dan berusaha menjadi moderator yang baik.

Barangkali bisa dijelaskan lebih lanjut tentang empat tugas hakim itu?
Di negeri yang sistem hukumnya menganut civil law ini tugas hakim realtif ringan. Kalau di sistem common law, selain memantau perkembangan norma hukum, hakim harus terus memantau putusan-putusan hakim-hakim yang juga rekannya. Di sini, tugas hakim itu kan cuma membaca berkas dan memantau produk Peraturan Perundang-undangan terbaru. Seorang hakim di sini, selain harus aktif memantau perkembangan-perkembangan hukum terbaru dia juga harus memanfaatkan segala sumber informasi hukum. Bahkan untuk sekarang ini tak cukup hanya Peraturan yang diterbitkan di Pusat, tapi juga perlu lebih jauh mempelajari Perda-Perda (Peraturan Daerah-red). Terutama untuk pengadilan tingkat I dan tingkat II didaerah masing-masing. Tentu karena Perda ini makin lama juga makin banyak, seorang hakim agung juga punya pekerjaan untuk memantau peraturan yang semakin berlipat itu. Ini wajar, karena kita kan penganut civil law, memang harus begitu.

Berdebat. Ini harusnya menjadi pekerjaan hakim ketika akan membuat putusan. Semua mesti memiliki argumen yang cukup mendalam dengan logika-logika hukum bisa diterima semua kalangan sehingga masyarakat pencari keadilan juga akan ikut belajar. Menulis. Ini karena seorang hakim harus membuat putusan yang bisa dijadikan acuan bagi perkembangan hukum di Indonesia. Maka saya menyarankan agar seorang hakim itu harus dekat dengan lingkungan akademis. Dari lingkungan Perguruan Tinggi. Dari situ, logika-logika hukum yang akan dipakai ketika membuat pertimbangan sebelum memutus perkara akan lebih matang dan dalam. Putusan mesti mudah dipahami mahasiswa hukum dan praktisi hukum, tidak sumir dan memiliki argumen yang kuat. Panjang tidak apa-apa, kalau perlu dibuat footnote semacam paper. Kalau di MK begitu. Jadi untuk setiap pengadilan itu harus terbangun kultur ilmiah.

Di Pengadilan tingkat pertama, seorang hakim juga berlaku sebagai moderator bagi dua pihak yang menghadap di muka sidang. Di sini dia harus memiliki kemampuan memanajemen kedua belah pihak agar tercipta equal treatment bagi kedua pihak itu.

Kesimpulannya peradilan di Indonesia masih jauh dari kultur ilmiah?
Nah, ini karena riuh peradilan di Indonesia selama ini bukan riuh karena ramainya perdebatan ilmiah hukum. Tapi justru riuh seperti pasar. Kalau sudah tercipta kultur ilmiah, otomatis sebuah informasi itu akan sangat terbuka, sehingga tidak lagi ada ribut-ribut soal perkara yang ditransaksikan. Sebab dalam suatu perdebatan yang sudah sarat nuansa ilmiah, nantinya transaksi-transaksi jual beli informasi atau jual beli perkara akan hilang dengan sendirinya.

(CRP)



http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=17222&cl=Wawancara

Tidak ada komentar: